Dalam 15 tahun
terakhir, saya mengalami tiga kali perpisahan. Perpisahan pertama, yaitu
bersama teman-teman SD, enam tahun masa yang terlewat tanpa benar-benar saya
nikmati. Pikiran anak kecilku belum begitu mengerti arti dari sebuah
pertemanan, arti kebersamaan maupun arti kehilangan. Yang saya tau, saya sedang
belajar, menulis, menghitung, duduk dibangku kayu panjang berwarna merah tua
dibarisan paling belakang, disudut. Saya belum mengerti apa-apa. Saat
teman-teman sibuk berceloteh, saling menarik baju seragam, saya hanya bisa
duduk dan melihat sekeliling sambil terus berpikir... keadaan seperti ini harus
diberi sebutan apa? Atau, siapa anak yang sering melap ingus dihidung
menggunakan tangan hingga seluruh ingusnya merembes disepanjang pipinya, atau
siapa anak yang berdiri diatas bangku sambil berteriak-teriak heboh kearah
kerumunan anak laki-laki dibawahnya. Sedikit banyak, saya masih menyimpan
secuil memori beberapa tahun lalu. Lalu, saya naik ke kelas 2, kelas 3, kelas
4, kelas 5 dan kelas 6. Tidak lupa cerita cinta anak SD yang kerap terjadi.
Kelas 6 SD, masa-masa yang penuh dengan gaya anak SD jaman kapan, gaya bicara
yang khas, istilah-istilah anak SD, cerita cinta, persahabatan, geng-geng dsb.
Kemudian, acara perpisahan pun diadakan digedung samping sekolah. Semua orang
diharuskan memakai baju kebaya. Diakhir acara, kami, semua anak kelas 6
bernyanyi bersama, beberapa isak terdengar dari ujung, beberapa teman sudah
saling berpelukan, saya hanya mampu menggerakkan tanganku lalu menepuk-nepuk
pundak seorang teman yang berdiri disebelahku. Tidak perlu sesedih itu, gumamku
lirih. Saya sedih dan ingin menangis tapi ternyata air mataku tidak turun,
hanya menggenang dipelupuk mata. Saya melihat, beberapa guru juga mulai terisak
pelan, mungkin mengingat tingkah muridnya, kenakalan, jerih payah yang mereka
keluarkan demi mengajar kami, mungkin juga mereka terlalu sayang sehingga sulit
membayangkan akan melepas anak didik mereka. Air mata disetiap perpisahan itu
bukan lagi hal yang luar biasa. Saya memaklumi hal itu. Malam itu berakhir
dengan sesi foto angkatan dan beberapa guru serta kepala sekolah. Malam itu,
saya merasakan perpisahan pertamaku.
Perpisahan kedua
yaitu ketika Yuni dan Miftah keluar dari kelas 9c. Beberapa teman juga banyak
yang keluar sebelum mereka, tapi saya sama sekali tidak merasakan kesedihan
yang sebenar-benarnya. Dan ketika Yuni
dan Miftah yang harus keluar, saya benar-benar tidak bisa membendung air mata,
bukan hanya sekedar air mata. Tapi air mata terluka, tedengar berlebihan ya?
Hahahahaha ya, waktu itu saya benar-benar sedih, benar-benar merasa dibohongi
oleh hasil tes yang tertempel dimading lab bahasa. Dan akhirnya, sisa masa
kelas sembilan harus lewat tanpa dua orang itu. Tapi setelah itu, tidak ada
yang berubah antara kami. Yuni maupun Miftah tetap menjadi bagian dari kami.
Dan perpisahan ketiga
adalah perpisahan yang digelar tanggal 15 Juni seminggu yang lalu. Perpisahan
siswa kelas 9. Saya tidak menitikkan air mata, mengingat kami masih akan
bersama-sama di esema nanti. Tapi mungkin bagi teman-teman lain, malam itu
merupakan puncak dari segalanya, dimana mereka terpaksa saling megucapkan
selamat tinggal dan sampai jumpa di masa depan. Saya hanya berpesan singkat,
jangan saling melupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar