Maaf saudara-saudara. Isu ini sebenarnya sudah lama terjadi. Hanya saja, saya malas untuk menorehkan sepotong kejadian kecil yang terjadi pada 5 Februari 2012. Tempat kejadian dimulai dari gedung kampus STAIN Datokarama. Dikarenakan kelompokku ngotot ingin membuat penampang—tugas IPS—hari itu juga dirumahnya Dini, terpaksa saya harus bertolak kerumahnya Fadlun dulu, supaya kita bisa pergi bersama-sama. Dikarenakan juga Kakaku tidak bisa menjemput saya, jadilah terpaksa (tidak terlalu terpaksa juga) saya harus mengikuti Fadlun menuju rumah sederhana di bibir jalan Suharso. Rumah bertingkat dua, merangkap warung makan bagi mahasiswa kampus dan juga dilantai satu merupakan tokonya Fadlun yang juga membuka usaha fotokopi.
Di sekitaran STAIN, tidak ada satupun angkot yang nongol walau hanya sebatang hidungnya saja *HA? -,-* yah, mau di apa? Koran telah menjadi bubur (??), dan kita harus berjalan dibawah terik matahari yang siang itu sedang memancarkan sinarnya dengan garang tanpa memedulikan dua gadis kecil nan mungil nan imut yang tengah berjalan terseok-seok. Mengandalkan niat yang begitu besar, kita nekat jalan kaki dan berbelok ke sebuah jalan pintas yang bahkan kita pun—saat itu—tidak tahu-menahu kemana jalan kecil itu akan membawa saya dan Fadlun. Entah apa yang membuat kita memutar badan sebesar 180 derajat dan akhirnya saya dan Fadlun sudah berada ditengah-tengah jalan kecil tak dikenal.
Seorang anak laki-laki melintas sekaligus mendahului saya dan Fadlun.
“Eh, ada orang! Siapa ini? Adik kelas ga?”
“Tau juga” Fadlun menyahut.
Sejurus kemudian, kita sudah berada dijalan yang lebih kecil lagi dengan rerumputan liar yang tumbuh disisi jalan kecil tersebut. Ada juga lahan persawahan yang terhampar di sisi kanan jalan itu. Jangan menghayal tentang sawah-sawah permai dan indah seperti di pedesaan pada umumnya, sawah yang saya katakan tadi sangat-sangat berbeda dengan sawah yang ada di tivi-tivi, majalah, artikel, dll. Sawah yang ini… hoaaaaah -_- GERSANG dan KERING T_T
Setelah puas dengan pemandangan yang jauh dari indah, kita meneruskan berjalan—masih terseok-seok. Anak laki-laki tadi masih ada dalam jangkauan tapi jalannya cepat sekali hingga tiba-tiba anak itu menghilang di pembelokkan (sebenarnya bukan pembelokan, hanya saja ada rumput liar yang terlalu lebat, sehingga menutup sosok anak laki-laki tadi). Menyadari anak tadi tidak lagi berada dalam jangkauan saya dan Fadlun… eh, si Fadlun got panic and afraid of walking alone—without that boy. Bahkan mengira bahwa anak laki-laki itu bukan manusia, mungkin saja dia adalah seorang… tau le agak gendut :p padahal, didepannya masih ada seorang manusia yang tidak perlu diragukan lagi. Masih ada SAYA berengkali he. I was there T_T
“Ifa, Ifa! Coba panggil itu ade. Tanya kemana jalan ini akan membawa kita” (kira-kira begitu yang dibilang Fadlun waktu itu) ._.v
Tidak ada salahnya kalau mengikuti sarannya Fadlun, saya setengah berteriak memanggil anak itu. Karena bingung harus memanggilnya dengan sebutan apa, eh satu kata terlintas. Fulan. “Fulan! Fulan!” eh, si anak masih bergeming dan terus berjalan—lebih cepat. Fadlun juga tak mau kalah. “Ade! Ade!” beberapa kali saya dan Fadlun memanggil dengan suara yang dipaksakan keluar, akhirnya anak yang kita klaim bernama “Fulan Ade”—itu pun menoleh. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Fadlun langsung ambil alih berteriak dan bertanya “De, ada jalan di depan?” si Fulan Ade hanya menatap sesaat dan menjawab: “Ada” lalu dia langsung balik badan setelah meyelesaikan sepotong kata yang dia sampaikan. Heh, kita belum selesai bertanya anu. Terpaksa kita berteriak lagi “De! Ada jalan raya di depan?” si anak menoleh. Alhamdulillah. Dia menjawab: “Ada” sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan yang kita lontarkan ke Ade Fulan tadi, hanya saja saya kehilangan beberapa ingatan. Baik, akan saya lanjutkan. Singkat cerita, akhirnya saya dan Fadlun keluar dari jalan kecil yang ternyata membawa kita menuju laut Talise.
…
“Masya allah! Masih jauh ini, Fadlun? Mana rumahmu? So dekat?”
“Masih jauh. Sana jembatan kuning he” sembari menunjuk sesuatu yang tidak bisa saya lihat dengan jelas tapi warna kuningnya membuat mataku menolak untuk menatap lebih lama.
“Hama! Ba gila! Sa kira berengkali so lewat jembatan kuning! ISTIGFAR he” *hampir menangis*
Satu jam kemudian… *bohong :p*
“Eh, itu masjid terapung” Fadlun angkat bicara.
“Haaaaa? Mana? Mana?” saya spontan kaget dan tertarik dengan dua kata itu: “Masjid Terapung” \m/
“Itu he” Fadlun menunjuk lagi. Kali ini lebih jelas. Masjid dengan tiang-tiang penyangga yang berada di dalam air. Kubah yang mengkilat-kilat akibat sinar matahari terlihat begitu indah di tengah hari bolong kala itu.
“Oh, itu dan yang dorang bilang-bilang masjid terapung itu. Cepat Fadlun. Jangan menyia-nyiakan waktu dan tempat yang telah disediakan. Ba foto kita. Ayo, cepat” saya menarik-narik tangan si Fadlun. Yang tangannya ditarik hanya menatapku miris seolah mengatakan: kasihan-sekali-baru-kali-ini-liat-masjid. Ebeh, terserah apa arti tatapan itu, Fadlun. Yang penting saya mau ba foto disana! Huaaaaaaaa~ saya histeris (dalam hati) :p :D secepat kilat, saya mengeluarkan hendikem berwarna biru milik Audry yang sengaja dia titipkan dengan saya.
Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jepret! Jep...ret! je…p…ret! J…ep…ret! J…………..e…………..p……………r…………..e…………..t! si kamera mulai berontak dan mogok. Ya sudah. Puas dengan pemotretan illegal, saya dan Fadlun meneruskan jalan pulang. Di depan sana sudah terlihat benda kuning melengkung raksasa. Lagi dan lagi, waktu dan tempat telah datang. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya dan memang, saya dan Fadlun tergolong orang-orang yang sangat sangat memanfaatkan waktu dan tempat itu. Tidak lupa berfoto-foto ria disekitar jembatan kuning kebanggaan kota Palu tersebut. Sampe-sampe orang-orang yang melihat kita berfoto-foto turut menyerukan sesuatu: SMILE…! :) seorang pengendara motor berseru demikian disamping kami yang masih asik dengan hendikem dan pemandangan kota PALU yang panas dari balik jembatan kuning. Walaupun penderitaan yang kita alami seakan terlupakan saat berfoto-foto ria, tapi sayangnya… perasaan putus asa itu kembali menyergap. Kali ini, jalanku sudah tersenag-sengal. Saya sudah tidak mampu lagi meneruskan perjalanan gila ini T_T tak henti-hentinya saya memanjatkan do’a kepada Allah untuk mengirimkan sebuah angkot untuk saya dan Fadlun.
Dalam radius beberapa meter, ada benda biru yang berjalan mendekat. Thanks God. Itu angkot! Fadlun, cepat!
“Suharso, OM!”
…
Alhamdulillah. Akhirnya penderitaan telah berakhir. Ada perasaan senang campur kecewa. Senang karena akhirnya saya tidak harus berjalan lebih jauh lagi dan membiarkan kadar kehitaman dikulitku naik beberapa senti lagi. Kecewa karena padahal kita sudah berencana berfoto-foto lagi di Green Park-nya Palu yang berada tidak jauh dari jembatan kuning yang kita lewati tadi.
Fadlun’s home. Alhamdulillah.
Tapi… tiba-tiba… pandangan kabur… jalan sempoyongan… dan ternyata saya lapaaaaaaaaaaaaaaar! ><
…
Fadlun took some meatballs for I and her. It was made by Fadlun’s mom. It was obviously delicious. i was full. Setelah makan, saya dan Fadlun langsung naik ke atas—ke kamarnya Fadlun yang berada di lantai dua. Kita memutuskan untuk tidur sejenak—melepas lelah dan meregangkan otot-otot yang hampir tidak berfungsi lagi. Kita terlelap dengan pose masing-masing di atas tempat tidur kecil milik Fadlun. Sekitaran jam 3, kita bangun dan bergegas menuju rumahnya Dini—mengerjakan penampang. Tapi sayangnya… sebuah sms masuk ke hapeku yang ternyata dari Dini. Isinya: Sy sakit. Te bisa kerja penampang.
Dreng!
Astagaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! T________________T heh, sudalah. *** **** -_-
Akhirnya, saya berkutat dengan laptop sampe malam. Fadlun sudah berhenti meracau dari tadi karena cas laptopnya yang sudah tidak bernyawa. Tapi untungnya, ada sejumput keajaiban yang singgah dikamarnya sore itu—membuat cas laptopnya berfungsi kembali. Tapi itu dulu… sekarang, laptopnya Fadlun sudah benar-benar tewas. Layarnya memutih—tuturnya siang tadi. Kasihan Fadlun. Semoga cepat dapat gantinya ha. Amin.
That’s all. Keep reading.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar