Senin, 02 April 2012

A feeling.

Tidak ada “sesuatu” yang benar-benar mati. Tidak ada “sesuatu” yang benar-benar hilang. Sama halnya dengan perasaannya yang belum benar-benar mati. Tidak terhitung berapa kali ia berusaha membunuh dan mengubur dalam-dalam semuanya, perasaan itu, perasaannya, tak juga kunjung berbenah dan benar-benar pergi. Ia lelah. Lelah sekali. Menghadapi setiap percikan perasaan yang tiba-tiba muncul. Ia lelah berperang dengan hatinya sendiri. Ia lelah bertahan dengan apa yang tidak sepantasnya ia pertahankan. Ia lelah, ia lelah. Amat lelah.
Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga merangkak menjadi tahun, perasaannya terus tumbuh dan berkembang tanpa bisa dicegah. Suatu hari itu, ia menyadari bahwa ia harus mengenyahkan perasaan itu dan memulai perasaan yang baru dengan orang yang baru pula. Tapi ternyata susah. Telah banyak anak perasaan yang lahir, berakar dan tertancap kuat didasar hati. Akhirnya, ia menyerah. Kondisi ini membuatnya lemah, jatuh terduduk tak berdaya, tenggelam dengan perasaan putus asa, terbungkus pikiran yang membuat kepalanya berdenyut-denyut, sakit. Elegi terus terngiang-ngiang ditelinganya, bising. Bising yang membuatnya semakin putus asa. Ia ingin menangis, menangis sekuat-kuatnya, menangis sehebat-hebatnya sampai kantung air matanya tidak lagi menyisahkan setitik pun air mata. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya, mengalahkan elegi yang juga semakin kuat mengalun. Menangis sehebat-hebatnya dan membuat perasaan itu keluar dari dalam hatinya. Ia seperti ingin saja menarik paksa perasaan itu, menginjaknya, menghancurkannya hingga tinggal abu debu lalu terbang dibawa angin kesedihan yang belasan bulan ini terus mengukungnya.
Ia seperti ini lari saja dari dunia yang ia tempati sekarang, tapi ia harus berlari kemana? Keluar angkasa? Mana bisa? Atau, ia ingin sekali menjadi angin. Berhembus damai diantara tumbuhan dan makhluk hidup lainnya tanpa harus merasakan kepedihan. Atau, ia ingin menjadi rinai hujan yang turun dari langit, membawa seberkas ketentraman bagi mereka yang resah hatinya. Tapi semuanya mustahil. Ia tetap manusia biasa. Manusia dengan perasaan “itu”, perasaan yang malah menjadi sebilah pedang yang mengiris-iris hatinya. Perih sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar