Minggu, 29 April 2012

Memories.



Ia masih berdiri disana. Dengan bekal potongan kenangan, ia mulai mengumpulkan potongan-potongan lainnya. Dengan susah payah ia berdiri-mununduk lalu berdiri lagi, berlari-lari kecil mencari potongan-potongan yang berceceran. Napasnya memburu, tersengal-sengal. Peluh membasahi dahi, tangan dan bajunya. Ia letih. Ditangannya, potongan-potongan yang ia kumpulkan sudah menggunung sampai-sampai ia harus menampung sebagian lain di bajunya. Ia bingung. Masih banyak potongan-potongan lain yang harus ia kumpulkan namun tak ada lagi tempat untuk menampungnya. Sejauh ia memandang, tidak ada apa-apa. Yang terlihat hanya warna putih. Semuanya putih. Ia melihat sekeliling—lagi, dikejauhan sebelah sana, ia masih bisa melihat potongan-potongan yang harus ia ambil. Mukanya pucat, bibirnya bergetar. Air mata menggenang dipelupuk matanya, siap untuk membasahi pipinya. Dan akhirnya ia benar-benar menangis. Semua potongan yang ia kumpulkan tadi jatuh berhamburan dari baju dan tangannya. Beberapa saat kemudian, tangisnya mulai reda lalu ia bangkit dan membersihkan sisa-sisa air mata di wajahnya. Mengangguk pelan dan kemudian melangkah pergi. Ia berpikir, seberapa kuat ia mencari dan mengumpulkan semua potongan kenangan yang ia punya di waktu lalu, ia tidak akan berhasil melengkapkannya. Kenangan itu malah akan jatuh berhamburan. Ia berpikir bahwa memang sebaiknya semua kenangan itu ia tinggalkan disana. Abadi ditempatnya berada. Karena kenangan, baginya, tetaplah kenangan. Tidak ada yang bisa merubah itu.

Mishfah Fathiyyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar