Ia masih berdiri
disana. Dengan bekal potongan kenangan, ia mulai mengumpulkan potongan-potongan
lainnya. Dengan susah payah ia berdiri-mununduk lalu berdiri lagi, berlari-lari
kecil mencari potongan-potongan yang berceceran. Napasnya memburu,
tersengal-sengal. Peluh membasahi dahi, tangan dan bajunya. Ia letih. Ditangannya,
potongan-potongan yang ia kumpulkan sudah menggunung sampai-sampai ia harus
menampung sebagian lain di bajunya. Ia bingung. Masih banyak potongan-potongan
lain yang harus ia kumpulkan namun tak ada lagi tempat untuk menampungnya. Sejauh
ia memandang, tidak ada apa-apa. Yang terlihat hanya warna putih. Semuanya putih.
Ia melihat sekeliling—lagi, dikejauhan sebelah sana, ia masih bisa melihat
potongan-potongan yang harus ia ambil. Mukanya pucat, bibirnya bergetar. Air mata
menggenang dipelupuk matanya, siap untuk membasahi pipinya. Dan akhirnya ia
benar-benar menangis. Semua potongan yang ia kumpulkan tadi jatuh berhamburan
dari baju dan tangannya. Beberapa saat kemudian, tangisnya mulai reda lalu ia
bangkit dan membersihkan sisa-sisa air mata di wajahnya. Mengangguk pelan dan
kemudian melangkah pergi. Ia berpikir, seberapa kuat ia mencari dan
mengumpulkan semua potongan kenangan yang ia punya di waktu lalu, ia tidak akan
berhasil melengkapkannya. Kenangan itu malah akan jatuh berhamburan. Ia berpikir
bahwa memang sebaiknya semua kenangan itu ia tinggalkan disana. Abadi ditempatnya
berada. Karena kenangan, baginya, tetaplah kenangan. Tidak ada yang bisa
merubah itu.
Mishfah Fathiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar