Rabu, 04 April 2012

Sampah lo!


Woho wow, seperti biasa, kota Palu selalu panas, sekali. Membuat beberapa orang mengibas-ngibaskan buku tulis di depan wajah, mengusap peluh yang terus bercucuran. Hari ini memang panas tapi ada yang lebih panas di hati mereka. Mereka yang sedari tadi berkoar-koar kesal. Hah, memang hidup penuh dengan orang-orang menjengkelkan, memuakkan. Memang pada awal kita akan baik-baik saja dengan beberapa orang, tapi lama kelamaan, pasti kita akan merasa muak tanpa tau apa yang melatarbelakangi rasa muak tersebut. Hidup penuh dengan sampah, ya kan? Bukan hanya sampah yang diakibatkan masayarakat yang tidak bertanggung jawab atas lingkungannya, tapi juga ada sampah yang lebih kotor dari sampah-sampah terkotor sekalipun. Sampah mulut, sampah kelakukan, sampah perkataan, sampah sampah dan sampah. Nggak tau ya, akhir-akhir ini, terhitung sejak kemarin, saya suka skali bilang “sampah” untuk mewakili beberapa gurauan ataupun celaan “ringan” tapi tentunya tidak terang-terangan. Sampe-sampe seorang teman bilang: Ampas saja ta usah sampah. Wah, kaga bisa. Saya sudah terobsesi dengan kata itu. SAMPAH.
Ok, back to the topic. Mereka yang kesal tadi masih menyemprot sana-sini, bilang ini bilang itu tentang “dua orang” yang amat dekat dengan saya maupun mereka tentunya. Dua orang yang bikin mereka jengkel mampus kadung-kadung sampe kejengkelan itu berubah menjadi gelak tawa yang begitu membahana siang tadi. Angin berhembus kencang, membuat rok kami berkibar-kibar. Sepertinya angin juga ikut tertawa bersama kami. Menertawai sampah. Wahahahaha. Ketika gelak tawa mereda, kami pun mengarah ke pembicaraan yang lebih seruis *serius men bukan seruis! | terserah gue lah* kami saling berhadap-hadapan. Mengatur nafas yang tersengal akibat tertawa terlalu banyak. Lalu mengalirlah pengakuan-pengakuan itu. Pengakuan bahwa mereka merasa “membenci” banyak orang hari ini. Entah apa alasan mereka membenci. Mereka pun tidak tahu. Yang mereka tau, mereka tiba-tiba tersadar akan sesuatu dan... dan merasa jengkel. Sesimpel itu kah? Tapi tetaplah, selalu stay positive. Mungkin saja, orang-orang yang mereka dan saya jengkel tersebut sedang mengalami beberapa gangguan pada sistem tatanan pikiran serta perilakunya sehingga terjadi beberapa perubahan yang sangat signifikan lantas perubahan-perubahan itulah yang membuat mereka terlihat menjengkelkan. Wahaha  wow, penjelasan yang mengesankan dari saudari Mishfah. Ideologi yang aneh. Zzx.
Well, hidup ini, hidupku, hidup kita bersama itu penuh banyak sampah. Sudah terlampau banyak sampah yang bergelimpangan setiap detiknya. Kalo nggak ada sampah-sampah tadi, hidup tidak akan berwarna. Warna itulah yang justru kita perlukan untuk bertahan hidup. Sampah-sampah seperti rasa jengkel, benci, dan sebagainya sebenarnya merupakan tonggak hidup. Dari kejengkelanlah, kalian belajar bersabar. Dari rasa bencilah kalian belajar menerima dan memaafkan. Hidup kita ditemani sampah-sampah itu, makanya nggak usah pada jijik. Rasa jengkel itu mah biasa. Saya malah sudah merasa jengkel jauh-jauh hari sebelum kalian sadar bahwa kalian juga jengkel. Yah telat. Dan tadi, ketika kalian mengaku bahwa kalian juga “jengkel”, ada kelegaan yang tiba-tiba terbit. Ternyata bukan hanya saya yang “tidak buta”, mereka pun merasakan hal yang sama. JENGKEL! RASA JENGKEL! KALIAN PERNAH JENGKEL SEJENGKEL-JENGKELNYA SAMA ORANG KAN? ITU YANG KITA RASAKAN. ITU YANG SAYA RASAKAN DULU dan mungkin sekarang! Itu yang saya rasakan sebelum saya pelan-pelan mencoba berdamai dengan hatiku. Mencoba melupakan kejengkelan itu, memulai semuanya dengan rasa kasih sayang. Mencoba menidurkan iblis berlabel kebencian dalam diriku. Dan tadi siang, mereka telak membangunkan iblis yang tertidur itu. Membuat saya berkilat-kilat benci—lagi. Membuat saya menulis note sampah ini. Hahahaha, sampah ada dimana-mana. Mishfah, ada apa dengan dirimu? Hahahaha!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar