Rabu, 18 April 2012

Kecoa.


**
Saya betul-betul mirip kecoa sekarang. Betul-betul mirip. Kecoa, kalo sudah terbalik, pasti susah mo kembali ke posisi awal. Kecoa, kalo sudah terbalik, pasti bagian perutnya menghadap ke atas, bayangkan saja. Betapa menjijikan. Menggelepar-gelepar, kaki-kakinya mencakar-cakar udara, mencari pertolongan, berharap ada yang membalikkan tubuhnya seperti semula. Jijik. Dibandingkan dengan kondisiku sekarang, mungkin beti beti amat. Kondisi yang terjadi sekarang betul-betul terbalik dan sangat bertolak belakang dari sebelumnya. Layaknya kecoa yang badannya kebalik, kondisi sekarang pun begitu. Dan kondisi yang terbalik ini sulit untuk dibalikkan kembali, sulit untuk diperbaiki dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Tidak akan sama lagi.
Saya akan tetap seperti ini. Tidak bicara. Saya terlampau terbalik seperti kecoa-kecoa itu. Saya betul-betul menolak berbicara. Lihat sosokmu saja, kelebat “masalah” sampah itu pasti muncul lagi, membuat saya enggan melontarkan kalimat-kalimat ringan yang dulu sering saya ucapkan ke kau. Semuanya terasa asing. Semua yang berhubungan dengan kau. Mungkin di seberang lautan sana, kau mah santai-santai saja menanggapi masalah ini dan berkata: beh biasa aja, masih tetap kaya dulu. Haha biarlah kau saja yang menganggap ini biasa saja. Toh mau biasa ataupun luar biasa, saya akan tetap seperti ini. Tidak bicara, tidak mengatakan apa-apa. Kau sadar tidak? Kau menganggap hal ini biasa tapi lakumu luar biasa. Kau juga menolak berbicara dengan saya kan? Haha akuilah itu. Kau juga bereaksi sama dengan saya, ya kan? Lucu. Lucu sekali kau berkelakuan seperti itu. Safe mode amat lu men.
Ehem. Pengecut. Haha jangan marah dulu kalo saya bilang “pengecut”. Yang pengecut itu kan bukan hanya kau. Saya dan KAU. Kita sama-sama pengecut. Sama-sama menjauh, mengambil jarak sejauh mungkin walau saya akui, kau memang terlihat lebih santai tapi, tetap pengecut. Je, sebenarnya saya masih heran ko tau. Masih bingung kenapa kita jadi seperti ini. Heraaaan saya. Alisku berkerut-kerut ba pikir. Tapi satu poin yang saya tangkap. Waktu itu. Pasti karena waktu itu. Saya ingat. Kita “membicarakan (orang)”. Kau ingat kan? Pasti kau ingat. Kita berdiskusi lah kata sopannya. Mendiskusikan ORANGMU. Kau mulai diskusi itu dengan 5 kata yang sempat kau bilang ke orangmu. Ok, saya mengerti sms 5 kata itu. Kemudian saya balas dengan 3 huruf menggunakan capslock. Lalu kau balas lagi dengan satu kata yang juga pernah kau bilang ke orangmu dan saya balas lagi dengan beberapa kata yang cukup serius karena jujur, waktu itu saya merasa terganggu kau sms seperti itu. Sms itu terus berlanjut dan sampai pada klimaks. SAMPAH. Itu yang menjadi akhir dari semuanya.
Besoknya, kau terlihat santai. Santai sekali. Malah kau masih sempat sms saya dengan gayamu yang biasa. Lambat laun, mungkin kau merasakan perubahan sikapku dan kau juga berusaha untuk melakukan hal yang sama! Oke saya bertahan dengan apa yang saya mulai. Kau tidak bicara, kenapa saya harus melakukan sebaliknya? Kau tidak memulai apa-apa, kenapa saya juga harus melakukan sebaliknya? Mari sejenak kita nonton kembali apa yang benar-benar terjadi waktu itu dan renungi itu. Tapi tidak. Saya capek mengulangi apa yang membuat saya muak. Sudahlah. Kau sakit, saya sakit. Mari bersakit-sakit ria. Kau tahu? Biarkan waktu yang menjadi obat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar