Helo world!
Hari ini saya aut-autan. Tidak menentu. Menggantung seperti layangan putus, tersangkut di kabel yang terayun-ayun mengambang di atas atap. Entah apa entah kenapa, saya merasa terusik hari ini. kadar kesensitifanku naik beberapa senti. Pagi tadi, perasaanku cerah-cerah saja, mengingat akan ada pertunjukan seni oleh grup teater air dan suara merdu Ayu dan Umul. Tapi semuanya berubah ketika jam istirahat berakhir. Saya yang sedang asik membaca buku Ranah 3 Warna, menangkap kata-kata yang kekurangan bahan penyedap. Rasanya hambar. Memekakan telinga. Di tempat duduknya, Rafdi yang duduk dengan kedua kaki di atas kursi berteriak-teriak: “Haaaa, ba foto di Zona! Hahaha, ba foto di Zona. Hahahahahaha!” gelak tawanya bergulung-gulung disambung anak laki-laki yang lain. Saya yang dari tadi sempat mengabaikan karena berpikir tidak perlu meladeni anak bertubuh gempal itu, langsung naik darah dan mencengkram sampul novel dengan geram. Kalau saja novel itu bukan pinjaman dari Syarifah, sudah saya robek-robek dan saya makan. Saya jengkel dengan kata-katanya. Mengejek harga diri! Apa-apaan dia? Menghina ya? Atau iri? Jihan, Audry dan Aulia sudah dari tadi balas mengejek dengan kata-kata serta nada paling sewot yang pernah saya dengar. Jelas saja mereka tersinggung. Saya yang dari tadi berusaha untuk mengabaikan dan memilih untuk berkonsentrasi pada novel, ternyata tersulut juga. Amarah membuncah-buncah didadaku. Tinggal saya muncratkan keluar dan bisa di pastikan anak gempal itu bakal langsung “takes” tapi ternyata, nyaliku ciut juga. Mengingat kubu anak laki-laki di seberang sana yang “sukaaaa sekali mengejekku” terpaksa, saya urungkan niatku mengeluarkan kata-kata mutiara yang sudah saya susun rapi beberapa menit yang lalu. Akhirnya, saya hanya membalas ejekan itu dengan beberapa kata sederhana. Setelah tawa Rafdi mereda, langsung saya semprot: kenapa kah? Iri? Oh, kau mau ba foto di Zona juga? Kasiaaaan!” suaraku saketek bergetar menahan emosi. Rafdi Rabbani selalu membuat saya emosi ._. hening sedikit… lalu mereka tertawa lagi. Hah, sudahlah. Biarlah mereka mengarang kalimat-kalimat penghinaan, toh novel Ranah 3 Warna yang ada di tanganku lebih ganteng dari pada anak laki-laki yang berkerumun di depan lemari yang penuh gitar di ujung sana.
Hal kedua yang membuat saya aut-autan adalah seorang anak korban pemerintah. Semakin berlagak dan berulah saja beliau itu. Setelah kegiatan belajar mengajar di Lab IPA selesai, kita kembali memakai sepatu. Ada seorang anak yang mengumumkan sesuatu yang berkaitan tentang evaluasi yang akan dilakoni oleh anak kelas 8 dan 7 besok. “Weh besok evaluasi weh” tukas Indah yang masih sibuk dengan sepatu merahnya. Beberapa dari teman hanya menjawab dengan anggukan kecil, senyum masam, dan kata-kata seperti ini: Bah, te mau lagi saya. Te usah jo. Setelah itu, tidak ada lagi yang berkomentar. Malas mengingat-ngingat hari-hari depresi menjelang evaluasi ketika masih duduk di kelas 7 dan 8 dulu. bicara soal evaluasi, saya teringat program yang Sir Yusri buat beberapa bulan lalu: Asisten Ebrod (Adviser Broad) atau dewan penasihat. Alhamdulillah, saya Syarifah dan Juju lulus dalam tes tulis mengikuti program tersebut dengan iming-iming free from “that thing” tapi sayangnya belum ada konfirmasi dari Sir sampe sekarang. Nah, tiba-tiba anak korban pemerintah yang membuat saya aut-autan itu menguping pembicaraan antara saya dan Syarifah tentang Adviser Broad, eh beliau langsung menyambung: Saya juga di suruh Sir Yusri tapi saya te mau. Hai le?! Ada orang menyahut. Siapa ya? Telingaku langsung panas. Saya dan Syarifah hanya bertatap-tatapan sangsi mendengar kata-katanya. Karena ada perasaan tidak suka yang sangat mendalam, saya langsung menjawab pernyataan beliau dengan nada bicara yang dibuat-buat seperti sedang bernyanyi. Seperti ini nyanyian sumbang itu: maaf, saya tidak bertanya sama anda le. Biar te ikut tes, pasti anda jadi AB juga nantinya. Biyah berpangkat-pangkat dah. Sudah lupakan saja AKP itu, muvon itu perlu. Go ahead!
Hal satu ini juga yang paling membuat saya kacau mengacau. Perutku rasanya panas dingin. Aneh bukan? Saya juga tidak tau persis. Tapi sepertinya ada rasa panas-panas yang membakar di dalam perutku tapi ada juga rasa-rasa dingin yang menjalari. Makanya setiap orang bertanya perihal muka galauku, saya hanya menjawab singkat: Perutku panas dingin. Mereka hanya terheran-heran mendengar istilah aneh yang saya lontarkan. Apalagi pas les bahasaindo, panas dingin di perut makin menjadi-jadi. Ditambah lagi rasa kantuk yang mengetuk-ngetuk kelopak mataku. Saya hanya terduduk lesu di sebelah Jihan yang sore itu memakai baju biru kotak-kotak. Dia terlihat bersemangat skali menjawab pertanyaan di paket 14 yang dibagikan untuk di bahas ulang. Saya hanya geleng-geleng kepala melihat huruf-huruf dikertas HVS itu. Saya pamit untuk mencuci muka saja, sapa tau hantu kantuk bisa cepat pergi? Badanku terhuyung-huyung saat menuruni tangga. Setelah mencuci muka, ternyata tidak ada hasil yang dapat dipetik. Rasa kantukku tetap menjadi-jadi. Terpaksa, saya seret lagi kakiku menuju anak tangga menuju kelas 7b. sampai dikelas, Rafdi berteriak-teriak kearahku. “Wee, Ipay galau!” gelak tawa yang lain mengikuti. Hah, saya cuek bebek saja. Saya kembali terduduk lesu dengan mata dipejam-pejamkan mengikuti hantu kantuk membawaku pergi sampai jam les usai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar