Halo world!
Akhir-akhir ini, kalo sudah masuk siang, tepat sejam setelah pulang sekolah, pasti kota Palu di guyur hujan. Bukan hujan deras, tapi hujan yang diawali dengan lagit gelap, angin kencang, udara dingin, dan rintik-rintik air yang mulai berjatuhan dari langit. Hujan yang tidak berlangsung terlalu lama tapi cukup mendebarkan. Buatku, hujan selalu memiliki gayanya sendiri. Hujan selalu membawa makna sendiri. Hujan datang dengan kepribadiannya yang alami. Bagiku, hujan selalu membawa ketenangan, kedamaian, ketentraman lewat udara dingin yang masuk melalui ventilasi jendela ruang tengah dan taman yang berada di dalam rumahku. Seperti sekarang ini, saya kembali duduk bersila di samping taman, ditemani meja kayu bundar, hape kunyuk, dan laptop malang, kembali merasakan angin berjejak hujan yang menyapu wajah. Dingin, enak. Mencium bau tanah sehabis hujan, itu yang paling saya suka. Kondisi ini seharusnya terasa menyenangkan jika ia terjadi beberapa bulan sebelumnya. Tidak sekarang... sekarang, udara dingin sehabis hujanpun tidak mempan mendinginkan isi kepalaku yang membara, bau tanah yang sering saya nikmati juga tidak mampu menyalurkan kedamaian kedalam diriku. Semuanya tidak mampu mengusir kepenatan yang saya rasakan serta rasa lelah yang terus merutuk-rutuk badanku. Berbagai macam hal berebut masuk kedalam otakku yang sesungguhnya tidak memiliki kapasitas lebih.
Tugas sekolah yang menumpuk menjulang tinggi mengalahkan gunung Himalaya, karya ilmiah bahasa Indonesia yang tak kunjung membawa hasil, hanya aksi suruh-menyuruh yang terjadi, bingung dengan judul yang ingin kita angkat, berebut menyalurkan ide yang pada akhirnya tidak juga terlaksana padahal deadline pengumpulan adalah hari Sabtu ini, mana karya ilmiah “sederhana” itu memiliki syarat harus lebih dari 10 lembar atau paling tidak pas 10 lembar. Laporan praktikum fisika yang betul-betul bikin saya ba urat-urat ba kerja, membuat tanganku, otakku, hatiku jadi keriting dibuatnya, tapi Alhamdulillah tugas yang satu ini membawa hasil yang “cukup” memuaskan bagi saya dan teman-teman kelompok setelah kemarin saya dan Andi Winda Puspitasari menyelesaikan laporan praktikum mengandalkan pemikiran sendiri, tulis tangan sendiri serta keringat sendiri. Saya mengerjakan laporan berjudul GGL Induksi dan Winda tentang kecepatan rata-rata. Betapa senangnya hati ketika barang-barang berlabel “sumplak” itu terselesaikan tanpa Muh. Rakha Ishlah yang akhir-akhir ini terus menjadi pemandu jalan. Haha, ternyata kata-kata Winda waktu itu terbukti: we can without Akang. Ckck. Lanjut masalah drama yang juga bikin kelimpungan warga sembilan ce. Naskah drama yang sudah harus dikumpul dalam waktu dekat betul-betul bikin gila, kelompokku pun belum menyelesaikan naskah walaupun ide drama sudah dari dulu bertebaran tapi maklum, belum bisa tersalurkan.
Memang tugas-tugas yang tidak tau diri. Menghampiri kita disaat UN menjelang, disaat UN sudah benar-benar didepan mata. Apa maksud semua tugas-tugas ini, Ya Allah? Sebenarnya, dari lubuk hatiku yang paling dalam, ada gejolak amarah, penat, lelah, kecewa bercampur aduk. Bingung dengan kondisi sekarang ini. Masa kita yang harusnya mempersiapkan UN dengan matang, malah dibanjiri tugas yang agak kurang “srek” dihati. Kalo memang tugas-tugas ini menunjang nilai UN, rasanya misi “mempersiapkan” UN ini agak berlebihan. Terlalu menyiksa. Hatiku menjerit-jerit, badanku mogok bergerak, sistem sarafku berontak minta ampun dan serentak meneriakiku... “CAAAAAAAPEEEEEEK” teriakkan yang memekakan telinga. Dear my body, my heart, try to understand this situation ya. Please. Saya juga tersiksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar